Jumat, 22 Mei 2015

Mbah Kodok, Anak Jalanan yang Jadi Seniman karena Diasuh Rendra


Bagus Kodok Ibnu Sukodok yang 'menikahi' Peri Roro Setyowati merupakan sosok seniman yang nyentrik. Siapa sebenarnya Mbah Kodok ini?

Nama aslinya adalah Prawoto Mangun Baskoro, dan lahir di Solo tahun 1951. Mbah Kodok, demikian dia biasa disapa, ternyata mendapatkan namanya dari tokoh teater terkemuka Tanah Air. 

"Nama Kodok itu pemberian Mas Willy (Willybrodus Surio Surendra/WS Rendra), Kodok Ibnu Sukodok. Itu karena aku sejak kecil di Solo tiap malam mencari kodok dengan teman-teman. Dulu aku dipanggil Eko Kodok atau Joko Kodok,"

Saat kecil, Mbah Kodok lebih sering keluar rumah dan tumbuh di jalanan ketimbang di rumah. Dia mengaku masa kecilnya bandel. Jual kain batik betawi

"Saya anak jalanan, anak liar, pernah diasingkan oleh kampung saya. Di kampung dulu saya mbeling (bandel) tapi teman saya banyak. Saya tidak punya cita-cita, dulu pengen jadi tentara KKO, tapi nggak tahu akhirnya malah terdampar di kesenian. Mungkin karena keturunan orangtuaku dulu," imbuh Mbah Kodok. 

Mbah Kodok mengungkapkan ibunya adalah seorang pesinden dan ayahnya adalah seorang pegawai negeri yang memiliki sanggar kesenian seperti wayang kulit hingga gamelan. Mbah Kodok semula merasakan tidak betah dengan hidup berkesenian kedua orangtuanya ini, akhirnya lebih memilih keluar dari rumah dan hidup di jalan. 

"Aku nganggur, jalan sini jalan sana. Belajar macam-macam, belajar membatik dan sebagainya," tutur dia.

Hingga akhirnya, dia bertemu dengan seniman WS Rendra. Sejak pertengahan tahun 1972 lalu, Mbah Kodok bergabung dengan Bengkel Teater di Yogyakarta. 

"Jadi ketemu Rendra dulu, saya merasa dipimpin. Namun pada akhirnya keberuntungan. Ada yang menuntun saya ke jalanan, di kampung mbeling, tapi ya itu masa lalu saya. Terus ketemu Rendra, saya menyerahkan diri, dituntun, kesenian begini, begitu, ternyata kok enak," cerita Mbah Kodok. 

Lantas setelah bergabung di Bengkel Teater tahun 1972, Rendra memberikan nama Kodok Ibnu Sukodok padanya tahun 1974. Setelah itu, Mbah Kodok melakoni hidup sebagai pementas teater hingga ke Jepang dan Amerika Serikat (AS). Namun meski merasakan enaknya berkesenian, di sisi lain dia merasa hidup berkesenian susah mendapatkan materi.

"Tapi cari duit susah. Dulu menjalin hubungan dengan perempuan banyak, dari Indonesia, Filipina, tapi nggak pernah jadi. Mengapa, seniman kadang-kadang ada, kadang-kadang nggak," tutur Mbah Kodok.

Selain teater, Mbah Kodok juga pernah belajar membatik. Namun, dia akhirnya memutuskan tak lagi membatik karena dinilainya obat untuk mencuci kain batik merusak lingkungan. 

"Saya juga sudah berhenti mencari kodok karena itu merusak lingkungan. Lha nanti nggak ada yang melubangi tanah kan," imbuh dia

Minggu, 01 Maret 2015

Martup Spa, Perawatan Tubuh Ala Suku Batak. Seperti Apa?


Bagi wanita, ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk melepas lelah setelah seharian bekerja, salah satunya adalah memanjakan tubuh dengan melakukan pemijatan di spa. Bagi Anda yang senang pijat, pijatan tradisional Indonesia mungkin salah satu yang difavoritkan. Spa tradisional ini beraneka ragam mulai dari spa ala wanita Jawa, Borneo hingga Bali. Kini selain jenis spa tersebut ada satu lagi yang spa tradisional yang diperkenalkan yaitu Martup Spa.

Seperti yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Rusmin Tumanggor, MA yang merupakan guru besar antropologi kesehatan UIN Jakarta, Martup Spa merupakan metode pijat terbaru yang terinspirasi dari tanah Batak, Sumatera Utara. Teknik pijat tersebut berbeda dengan pijat tradisional kebanyakan dan ada beberapa hal-hal yang harus diperhatikan.

"Kalau pijat tradisional Betawi dan Minang, mereka biasanya mulai pijit dari kaki. Beda dengan Martup Batak, kita mulainya dari kepala. Kenapa? Karena ada filosofinya di Suku Batak," papar pria kelahiran Tapanuli tersebut saat berbincang dengan media di Gaya Spa, Woltermonginsidi, Jakarta Selatan, Rabu (21/1/2015).

Lebih lanjut ia menerangkan, Suku Batak percaya bahwa kepala adalah susunan tertinggi dalam tubuh. Filosofi tersebut juga selaras dengan ilmu kedokteran yang mengatakan bahwa pusat susunan syaraf terdapat di kepala.

Selain itu, posisi terapis dalam memijat juga sangat ditentukan dalam pijatan ala Suku Batak ini. "Posisi terapis yang memijit pun juga harus di sebelah kanan, tidak boleh memijit dari bagian atas karena energinya kurang mengalir," tambahnya lagi. Jual oleh oleh khas betawi

Proses pemijatan dimulai dengan membaurkan minyak yang berasal dari rempah-rempah khas Sumatera ke bagian atas kepala dan berfokus di titik-titik wajah tertentu. Mulai dari dahi, bagian samping mata, alis, bagian bawah hidung, bagian belakang telinga dan dagu. Kemudian pijatan dilanjutkan ke leher hingga dada bagian atas. Maka dari itu, Anda diharuskan berada pada posisi telentang.

Setelah itu, berlanjut ke bagian lengan, perut, bagian kaki, dan bagian belakang tubuh. Pijatan dilakukan dengan memberikan tekanan pada bagian-bagian tertentu seolah seperti 'dicubit'. Tekanan tersebut dipercaya mampu merelaksasikan otot-otot syaraf sehingga tubuh terasa lebih ringan.

Usai dipijit, tubuh juga akan dibalut dengan kain ulos yang akan memberikan rasa hangat. Setelah itu masuk kepada proses steam atau penguapan dengan rempah-rempah yang memberikan rasa harum dan bersih pada tubuh.

Jika tertarik mencobanya, Anda bisa mendatangi Gaya Spa yang beralamat di Jl. Woltermonginsidi No. 25 Jakarta Selatan. Durasi pemijatan berjalan selama kurang lebih satu jam dan menelan biaya mulai dari Rp 563 ribu untuk satu kali perawatan.